Dalam diskursus pendidikan berkembang suatu wacana yang menempatkan pendidikan sebagai gejala individual di satu pihak, dan pendidikan sebagai gejala sosial atau kebudayaan di pihak lain. Menurut pendapat pertama, pendidikan merupakan instrumen institusional bagi pengembangan potensi dasar yang dimiliki manusia, semacam prepotence reflexes dalam pandangan aliran psikologi behaviorisme, yakni kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang. Kemudian dalam pandangan kedua, pendidikan diartikan sebagai kerja kebudayaan yang mempunyai fungsi melakukan proses pembudayaan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan pengertian ini pendidikan mempunyai cakupan yang luas lebih dari sekedar penyelenggaraan proses belajar-mengajar di sekolah.
Sebagai kerja kebudayaan, pendidikan—mengutip Moeslim Abdurrahman (1997), harus melakukan reproduksi kebudayaan dalam konteks ruang dan waktu yang terus mengalami perubahan. Dalam kaitan ini peserta didik merupakan aktor dan subyek (agency) yang melakukan akulturasi dan inkulturasi kebudayaannya dalam ruang budaya keluarga, lembaga pendidikan formal dan sosialisasi dengan masyarakatnya. Sebagai subyek kebudayaan, seorang anak sebagai peserta didik tidak hanya berusaha mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan masyarakatnya (sharing values), tapi juga dalam proses itu ada kalanya mempertanyakan, meragukan, bahkan kalau perlu memberontak terhadap kemapanan. Itulah sebabnya, mengapa kebudayaan setiap kelompok masyarakat selalu berubah, selalu diciptakan terus menerus (invented and constructed) oleh para pendukungnya, terutama generasinya sendiri.
Dengan pemaknaan seperti itu, maka pemikiran yang memberikan acuan konseptual tentang wacana antropologis (manusia)dan kebudayaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam perspektif filosofis, adanya discourse tentang manusia merupakan suatu keniscayaan agar praksis pendidikan dapat mengarah pada pengembangan manusia yang lebih humanistik. Karena itu menurut Ali Ayariati (1987), kedalaman metafisis tentang manusia sangat dibutuhkan dalam pendidikan. Apakah manusia itu ? Harus menjadi apakah dia ? Apakah tujuan hidupnya ? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dipertimbangkan berkenaan dengan pendidikan manusia. Sebab jika menusia tidak berhasil dijawab, lanjut Syariati, maka betapapun modernnya pendidikan, tidak akan menghasilkan kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya.
Lanjutannya ada disini
Judul: Pergeseran Paradigma dan Pemberdayaan Kerja Kebudayaan Pendidikan
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Item Reviewed: Pergeseran Paradigma dan Pemberdayaan Kerja Kebudayaan Pendidikan
Semoga artikel Pergeseran Paradigma dan Pemberdayaan Kerja Kebudayaan Pendidikan ini bermanfaat bagi saudara. Silahkan membaca artikel kami yang lain.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar yang baik, jangan spam/ SARA
Boleh masang link asal jangan LiveLink, karena pasti saya hapus... THANKS